News - Hari itu, Hardojo, Ketua Umum CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia), terlihat risau. Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sedang dibumikan oleh Sukarno. Setiap organisasi harus merepresentasikan salah satu unsur tersebut. Ia bingung, bagaimana CGMI harus berwajah dalam politik Demokrasi Terpimpin.

Dalam tesis What Makes an Activist? Three Indonesian Life Histories (2006) disebutkan, kepentingan CGMI tidak akan terakomodasi dalam serikat mahasiswa nasional apabila tidak melabeli diri sebagai "Kom". Posisi tersebut tentu tidak akan menguntungkan CGMI.

Dalam kebimbangan, Hardojo bertemu dengan D.N. Aidit, pemimpin PKI (Partai Komunis Indonesia).

"Bisakah kami (CGMI) mendeklarasikan diri kami sebagai Kom?" Hardojo memulai percakapan.

"Dari mana kok mengaku-ngaku Kom? Ya, nggak bisa, wong kamu Kom-nya siapa?" jawab Aidit.

Ia tahu anggota PKI yang masuk ke dalam CGMI hanya sekitar dua persen dari total seluruh anggota.

Salah satu pengurus CGMI di samping Hardojo lantas menjelaskan kepada Aidit.

"Begini, Bung Aidit. Menurut Bung Karno, setiap orang harus diajarkan Marxisme. Nah, kami ingin PKI melakukannya untuk mengajari kami Marxisme."

Berbagai pertimbangan alot terjadi dalam periode itu. Akhirnya berujung pada tahun 1964 ketika CGMI mendapat restu dari Aidit untuk memproklamasikan diri sebagai "organisasi mahasiswa komunis dan progresif nonkomunis".