News - Boy (bukan nama sebenarnya), merasa lega karena ia tidak lagi harus merasa cemas dan frustrasi meratapi layar gawainya. Jauh berbeda dengan beberapa tahun lalu, ketika emosinya acak-acakan akibat permainan judi daring (judi online, judol).

"Yang saya rasakan waktu itu ya, pas titik rusak-rusaknya. Makan gak pernah, begadang terus, merokok terus, jadi unstable juga mentalnya. Tiba-tiba suka marah, padahal lagi nongkrong biasa suka tiba-tiba marah, gampang tersinggung lah," begitu cerita pemuda 24 tahun itu kepada Tirto, Selasa (2/7/2024).

Saat itu, banyak uang yang ia habiskan untuk melakukan deposit ke situs judi online. Dari Januari 2022 sampai satu tahun kemudian, sampai 2023, setidaknya ia merogoh Rp50 ribu per minggu untuk judol.

Nilai itu belum lagi ditambah dengan uang yang dikeluarkan untuk membeli "bonusgame", yang berfungsi sebagai pengali keuntungan dari kemenangan uang yang didapat. Harganya sekitar Rp200 ribu untuk sekitar 10 kali putaran slot. Saat itu, ia bercerita, ada sensasi yang memacunya untuk terus bermain.

"Setiap main itu, kalau melihat slotnya gerak-gerak itu, ada deg-degan-nya. Entah mau menang atau enggak, tapi yang bikin nagih yang kayak gitu. Nyari sensasinya itu,” kisah Boy.

Berawal dari ajakan teman-teman sepermainannya dan rasa penasaran, dia menjajal judol pada awal tahun 2020. Bermodal Rp200 ribu, Boy akhirnya menjajal permainan slot untuk pertama kalinya.

"Dari Rp200 ribu itu saya main seharian, tapi tidak membuahkan hasil," ceritanya mengenang kejadian empat tahun lalu.

Dia pun kapok. Tapi orang-orang di sekitarnya masih terus menggodanya, menjerumuskannya kembali. Akhirnya dia pun merasakan menang besar.

"Itu tahun 2021, bulan Juli tanggal 9, saya masih ingat. Itu saya main Rp50 ribu, iseng-iseng saja. Saya (kemudian) beli untuk game bonus-nya Rp240 ribu dan habis itu saya menang Rp10 juta," Boy berkisah.

Berharap untung, malah buntung yang didapat. Semenjak kemenangan tersebut, Boy sangat jarang menang. Bahkan di antara tahun 2022 ke tahun 2023, dia mengaku tidak pernah menang sama sekali. Padahal dia sudah "setoran" rutin setiap minggunya.

"Jadi merasa frustasi, emosi juga gak stabil. Di otak tuh kayak, 'kok gak pernah menang lagi? Duit sudah habis kok tidak pernah menang lagi?'," cerita Boy.

Rasa frustasi itu juga yang kemudian membawanya ke titik yang ia sebut paling parah. Dia kehilangan kendali atas emosinya dan sempat memukul salah seorang sahabatnya tanpa alasan yang jelas.

Setelah melalui masa perenungan, dia merasa judol justru lebih banyak memberi masalah dalam hidupnya. Boy kemudian memutuskan untuk mencoba melepas dari candu tersebut. "Pertama itu coba sebulan gak main, tapi itu juga dari dalam hati masih banyak banget dorongan, 'ayo lah main lah, kali menang,' masih gitu kan," cerita dia.

Beruntung dia punya lingkungan yang sangat mendukung. Setiap kali ada godaan untuk bermain judol lagi, dia akan datang ke tempat tiga orang sahabatnya. Mereka biasa mengajak Boy melakukan aktivitas lain, seperti bermain game bersama ataupun pergi nongkrong.

“Kalau sudah teralihkan, mereka biasa baru ajak ngobrol lagi baik-baik (untuk menghindari judol),” katanya.

Upaya ini membuahkan hasil. Dari pertengahan Maret 2023, sampai saat ini, sudah lebih setahun Boy mengaku tidak lagi membuka situs judol yang sempat membuatnya candu itu.

Boy bisa dibilang beruntung, punya lingkungan yang mendukungnya dalam upaya melepas kecanduan bermain judol. Terdapat banyak pecandu judi online yang kesulitan melepas adiksinya hingga menjadi makin tidak terkontrol.

Tirto sempat berbincang dengan pendiri sekaligus pengelola Yayasan Jamrud Biru, Suhartono, mengenai pasien yang direhabilitasi akibat kecanduan judi online. Yayasan yang berdiri sejak tahun 2009 ini menyediakan tempat rehabilitasi orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).

Dia bercerita, tempatnya sempat merehabilitasi sejumlah orang yang dikirimkan keluarganya akibat judi online.

“Bulan April-Maret kami kemasukan sekitar lima orang, sekarang sudah sehat dan kembali kerja lagi, tidak judi online lagi,” begitu ceritanya saat berbicara dengan Tirto, Senin (1/7/2024).

Selama menghadapi para pelaku judi online ini, Suhartono menemukan beberapa kesamaan pola perilaku, yang cenderung tidak ditemukan pasien ODGJ lainnya.

"Pertama, dia cenderung lebih tinggi egonya. Lalu dia juga punya tingkat sensitivitas yang lebih tinggi. Ketiga, daya khayalnya juga cenderung terputus-putus. Jadi kadang dia sadar, kadang dia mengkhayal," terang Suhartono.

Lebih lanjut, dia juga menyebut pasien ODGJ akibat judi online juga cenderung merasa sudah menjadi orang berhasil dan emosi jiwanya mengarah ke diri sendiri. Mereka sering berteriak, kesal dengan diri sendiri, dan merusak benda di sekitarnya.

"Mereka juga suka melakukan kegiatan seperti orang main judi, misalnya kita berikan makan, dia cenderung menahan, seperti ada yang ditunggu. Apa yang ditunggu? Keberhasilan atau apa gitu, kalah atau menang, baru dia mau makan," tambahnya.

Suhartono juga menjelaskan pasien yang masuk penanganan Yayasan Jamrud Biru akibat judi online juga cenderung beragam usia. Pasien paling muda yang pernah dia tangani berusia 23 tahun. Yang tertua berusia 55 tahun.

"Biasanya makin tua makin besar penyesalannya," tambahan dia.

Suhartono menjelaskan, pendekatan rehabilitasi yang dilakukan di Yayasan Jamrud Biru dapat dibagi menjadi tiga kegiatan utama. Pertama, konseling secara teratur. Kedua, pembinaan agama. Ketiga, pembinaan pekerjaan. Para pecandu judol ini diajak untuk melakukan kegiatan lain yang yang positif agar tidak terpikirkan untuk bermain lagi.

“Sejauh ini belum ada yang kumat lagi,” ujar Suhartono.

Sekitar 4 Juta Orang Terdeteksi Main Judi Online di Indonesia

Cerita Boy dan beberapa pasien di Yayasan Jamrud Biru hanya sebagian kecil dari kisah pemain judi online di Indonesia.

Pada pertengahan Juni 2024 lalu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Hadi Tjahjanto, memaparkan ada 80 ribu anak berusia di bawah 10 tahun yang telah menjadi pemain judi online.