News - Nasib politik Joko Widodo setelah menanggalkan jabatan Presiden Indonesia pada Oktober mendatang, menjadi topik diskusi yang belakangan hangat dibicarakan. Kedekatan Presiden Jokowi dengan Prabowo Subianto, calon presiden terpilih di Pilpres 2024, membuat khalayak bertanya-tanya apakah Jokowi akan tetap ada di belakang jalannya pemerintahan Prabowo.

Peneliti politik, Ikrar Nusa Bhakti, menjawab rasa pertanyaan itu dengan analisanya yang tajam. Berkunjung ke kantor Tirto dua haris sebelum pengumuman hasil Pilpres 2024 sebagai tamu dalam Podcast For Your Pemilu, Ikrar membeberkan pandangannya soal jalan politik Jokowi setelah turun takhta.

Misalnya, santer kabar bahwa Jokowi akan merapat menjadi pimpinan Partai Golkar yang akan segera melakukan Musyawarah Nasional (Munas). Ikrar memandang bahwa skenario ini bisa saja dilakoni Jokowi, bahkan tidak mustahil meski harus memangkas aturan AD/ART partai berlogo pohon beringin tersebut.

“Jokowi itu adalah orang yang kadang-kadang tidak peduli dengan urusan-urusan undang-undang. Termasuk juga undang-undang pemilu aja bisa diubah melalui Mahkamah Konstitusi,” kata Ikrar.

Di sisi lain, Ikrar juga mengkritisi adanya rencana Koalisi Besar permanen atau barisan nasional yang disebut akan dipimpin Jokowi kelak. Ide koalisi permanen ini adalah cetusan dari PSI beberapa waktu yang lalu.

Menurut Ikrar, ide ini tentu saja akan merugikan pemerintahan Prabowo. Sebab, akan ada dua matahari kembar alias dua tokoh sentral yang akan memimpin partai-partai di pemerintahan mendatang.

Tak ketinggalan Ikrar membagikan pandangannya soal kondisi demokrasi saat ini. Upaya Jokowi memberi karpet merah kepada anggota keluarganya masuk ke palagan elektoral disebut Ikrar mirip sebuah idiom yang terkenal di Prancis: “Negara adalah Saya [L'État, c'est moi].”

Bagi Ikrar, carut-marut proses Pemilu 2024 dengan adanya dugaan keterlibatan kekuasaan yang ikut campur, hanya dapat dibenahi dengan pengajuan hak angket di DPR RI. Bagaimana pandangan Ikrar soal nasib hak angket untuk menguak dugaan kecurangan pemilu? Simak petikan wawancara Tirto bersama Ikrar di bawah ini:

Sebagai akademisi Anda mengumpulkan catatan hitam pemilu. Akan diapakan bukti-bukti itu nantinya?

Kita mesti lihat dulu persoalan apa yang ada di Undang-Undang Pemilu itu sendiri. Dan itu kan kalau misalnya, saya beri contoh aja lah. DKPP memutuskan ya bahwa ketua dan kemudian komisioner dari KPU itu mendapatkan sanksi pelanggaran berat etik atau apa namanya, teguran keras terakhir.

Masa [teguran] terakhirnya sampai 4 kali atau 5 kali, itu kan buat saya enggak masuk akal. Cuma ya masalahnya memang repotnya itu. DKPP itu tidak punya plan B.

Harusnya kalau memang ini dipecat, lalu apakah kemudian ada yang bisa disodorkan sebagai pengurus KPU yang baru gitu. Itu yang kita juga tidak memiliki.

Jadi itu juga masalahnya. Anda lihat Bawaslus-nya misalnya kan. Masa kemudian udah jelas-jelas ada orang [Paslon] bagi susu [di CFD] gitu kan. Masa kemudian dia bilang, ini kita enggak bisa memberikan sanksi. Yang bisa memberikan sanksi adalah pemerintah DKI Jakarta. Kan itu buat saya aneh bin ajaib.

Atau misalnya Migrant Care Indonesia ya. Itu sudah memberikan laporan, disebut Anda salah alamat kok dikirimnya ke Bawaslu. Harusnya ke Ketua Bawaslu. Nah pertanyaan saya, Ketua Bawaslu itu adalah bagian dari institusi Bawaslu atau bukan? Ini juga menjadi pertanyaan.

Apalagi kemudian orang-orang yang merasa di atas angin ya, itu selalu mengatakan laporkan aja, laporkan aja. Tapi begitu dilaporkan, loh kok kemudian dibilang salah alamat lah, tidak bisa dilanjutkan lah.