News - Saya seperti mempunyai hubungan yang aneh dengan gudeg, ada perasaan semacam benci tapi rindu.

Muasalnya mungkin karena pengalaman saat masa kecil, dulu santapan ini terasa membosankan untuk saya. Dan kenangan yang melekat adalah wajah nenek yang selalu menginstruksikan membersihkan halaman rumahnya saat saya datang. Lengkap dengan sajian gudeg nget-ngetan yang siap menanti sebagai semacam “upah” setelah kepayahan membersihkan dan menyapu halamannya rumahnya yang tidak bisa dikatakan kecil.

Saat itu referensi saya tentang santapan gudeg tentu terbatas, sekadar sayur nangka muda atau gori yang dimasak berulang dan berubah wujud menjadi cokelat pekat, dimakan dengan nasi pera, dan ditambah lauk ikan asin. Sekian waktu, imajinasi hasil dari beberapa kali santapan yang nenek suguhkan itu, cukup membuat saya sering menghindari gudeg.

Meskipun saya lahir di Magelang, daerah yang relatif dekat dengan Yogyakarta, saat itu saya belum menyadari jika gudeg umumnya juga dicampur dengan sambal krecek yang sedap, opor ayam yang legit, ataupun telur pindang yang lezat. Atau lebih tepatnya, masa kecil dan selama hidup di Magelang main saya kurang jauh.

Belasan tahun kemudian, saya pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta. Ketika itu, salah satu orang yang mengubah perspektif saya tentang gudeg adalah Widodo Budidarmo, atau biasa saya panggil Mas Dodo. Beliau mantan aktivis buruh yang juga menjadi aktivis pembela kaum transgender dan mendirikan organisasi Arus Pelangi.

Saya perdana mengenalnya saat bertemu di Bandung dalam sebuah forum diskusi. Tampilannya yang berbadan tambun, memakai jaket kulit hitam dengan wajah dingin, membuat saya mengira dia seorang intel. Namun setelah dikenalkan kawan dan berbincang dengannya, ternyata orangnya humoris dan sering melontarkan kosakata lucu khas ungkapan dari kawan-kawan transgender.

Mas Dodo adalah pribadi unik yang tahu kapan gemulai dan kemayu, kapan menjadi tegas untuk mengadvokasi teman-temannya yang banyak dirundung.

Darinya pula saya banyak mendengar cerita tentang legenda-legenda aktivis pergerakan Indonesia era 80 dan 90-yang lebih mendalam. Nama-nama seperti Roem Topatimassang, Mansour Fakih, dll, disebutkannya dengan fasih sambil bercanda, saat dia mengajak menyantap gudeg Bu Sudji di kawasan Manggarai, Jakarta Selatan.

Gudeg Bu Sudji itu pula, yang saat saya santap dengan Mas Dodo ketika awal-awal saya merantau di Jakarta, memberikan kebaruan dalam kepala saya: bahwa ternyata gudeg tidak sesempit seperti apa yang dulu disajikan nenek.

Awal Mula Gudeg

Gudeg yang identik dengan Jogjakarta ini punya sejarah yang panjang, jenis santapan ini disebut sudah eksis sebelum Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta berdiri. Konon, resep gudeg ditemukan pada masa Panembahan Senopati (1587-1601), pendiri Kesultanan Mataram Islam yang juga adalah kakek dari Sultan Agung.