News - “Kami tidak mau kalau kita perempuan-perempuan Indonesia yang sudah mempunyai konsep ibu bangsa sejak tahun 1935 sebelum kemerdekaan kalau dibilang ‘emak-emak’. Kami tidak setuju. Tidak ada ‘the power of emak-emak’, yang ada ‘the power of ibu bangsa’.”

Pernyataan tersebut dilontarkan oleh Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo persis enam tahun silam dalam laporannya untuk upacara pembukaan resmi Sidang Umum ke-35 International Council of Women (ICW) dan Temu Nasional 1.000 Organisasi Perempuan Indonesia.

Dibalut kebaya merah, Giwo berbicara dengan mantap di hadapan 2.050 tamu undangan yang datang kala itu berlangsung di Yogyakarta. Ucapannya kemudian disambut tepuk tangan dari hadirin.

Giwo kemudian menjelaskan kenapa Kowani lebih memilih istilah “ibu bangsa” daripada “emak-emak”. Persisnya pada hari kedua saat penutupan acara, dilaporkan Kompas.com, Giwo menyebut istilah “emak-emak” menimbulkan kesan tak enak, juga bernada humor.

“Emak-emak kesannya melecehkan, istilah itu hanya candaan, humor, nuansa populer, kita enggak bisa sebagai perempuan dilecehkan,” terang Giwo.

Selain itu, menurut Giwo, istilah “emak-emak” berpotensi mengotak-ngotakkan perempuan. Sebab, ada berbagai macam istilah untuk menyebut sosok ibu di Indonesia. Sementara itu, istilah “ibu bangsa” mengacu pada konsep yang dicetuskan oleh kalangan perempuan dari seluruh Indonesia yang hadir pada Kongres Perempuan Indonesia tahun 1935.

“Kita, kan, Nusantara, sedangkan Kowani itu organisasi federasi. Kalau kita mengiyakan ‘emak-emak’, bagaimana dengan yang lain? Yang Sunda, yang Sumatera. Kalau ‘emak-emak’ kan daerah Betawi,” terang Giwo saat dihubungi Tirto pada Senin (24/9/2018).