News - Ketika kita berbicara soal kerusakan lingkungan, industri otomotif jelas punya andil besar. World Economic Forum (WEF) mencatat, industri satu ini bertanggung jawab atas 10 persen emisi karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer. Ini belum termasuk polusi yang dihasilkan, termasuk dari asap knalpot yang setiap hari mengotori bumi.

Pendek kata, harus diakui bahwa industri otomotif adalah salah satu penyebab utama kerusakan lingkungan.

Kendati demikian, industri otomotif sendiri saat ini merupakan salah satu industri yang paling getol berbenah. Peralihan dari kendaraan berbahan bakar fosil menuju kendaraan listrik, misalnya, sudah bisa dikatakan sebagai sebuah upaya menuju keberlanjutan. Namun, kendaraan listrik pun sebenarnya masih jauh dari kata "bersih".

Ada komponen-komponen mobil yang mesti didapatkan dari proses ekstraksi yang (umumnya) masih dilakukan secara tidak bertanggung jawab. Belum lagi soal sumber dari listrik yang digunakan untuk menggerakkan mobil-mobil tersebut. Sebagai catatan, batu bara dan gas alam masih menjadi sumber energi paling dominan di muka bumi.

Selain beralih ke kendaraan listrik, ada satu praktik lain yang sudah cukup populer di kalangan pelaku industri otomotif, yaitu penggunaan material daur ulang.

Berbagai produsen mobil sudah melakukan hal ini, pun demikian dengan produsen komponen pendukung seperti pabrikan ban. Namun, praktik ini pun masih mengundang kritik karena sebenarnya tidak banyak komponen mobil yang bisa benar-benar didaur ulang untuk dijadikan bahan baku mobil baru.

Sebagai contoh, ketika sebuah mobil sudah tak lagi dipakai, para pendaur ulang biasanya mencopot mesin yang masih berfungsi untuk dipakai lagi. Sementara itu, bagian-bagian mobil lain hanya akan dihancurkan. Hasilnya adalah serpihan logam campuran.

Akan tetapi, tidak semua bagian dari serpihan logam itu bisa digunakan kembali. Paling-paling, hanya aluminium yang bisa dipakai lagi untuk memproduksi mobil baru, sementara sisanya digunakan oleh industri lain.