News - Industri otomotif Indonesia memiliki potensi yang cukup besar mengingat rasio kepemilikan kendaraan bermotor terhadap penduduk, cukup kecil. Sayangnya, peluang ini terkendala oleh struktur pasar yang cenderung oligopoli. Struktur ini terbentuk akibat dominasi beberapa pemain besar yang telah cukup lama menguasai pasar.

Hal ini diamini oleh ekonom INDEF, Tauhid Ahmad, yang menyampaikan bahwa struktur pasar yang didominasi oleh beberapa pemain merupakan akibat dari kompetisi.

“Sebenarnya itu oligopoli alamiah begitu ya, terjadi karena kompetisi. Konsentrasi rasio (pangsa pasar) saya kira sudah di atas 40%,” jelasnya.

Namun, salah satu Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) menyanggah bahwa industri otomotif Tanah Air berbentuk oligopoli. Pernyataan tersebut disampaikan oleh Public Relation & Digital Manager Honda Prospect Motor (HPM), Julian Karfili.

Menurutnya, pasar otomotif di Indonesia masih terus berkembang dan sangat dinamis. Beberapa brand bisa mendapatkan pangsa pasar lebih dan yang lain terpaksa tidak bertahan karena dinamika pasar yang dipengaruhi selera konsumen, inovasi produk, serta jaringan penjualan dan purnajual yang memadai.

“Intinya kompetisi pasar otomotif di Indonesia sangat terbuka dan sangat dinamis,” tegas pria yang akrab disapa Arfi tersebut.

Lebih lanjut, kita tidak bisa menutup mata, karena faktanya data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (GAIKINDO) mencatat lebih dari 60 persen pangsa pasar industri otomotif dikuasai oleh tiga produsen asal Jepang, yakni Toyota, Daihatsu dan Honda.

Mereka memiliki keunggulan dari sisi skala produksi, distribusi, serta kemitraan strategis. Kondisi ini tentu menyulitkan perusahaan baru untuk masuk dan bersaing secara kompetitif, karena mereka harus menghadapi dominasi merek-merek mapan yang telah memiliki jaringan dan basis pelanggan yang kuat.

Industri Otomotif Tertutup

Dalam kondisi oligopoli, industri cenderung lebih tertutup dan kurang transparan, sehingga sulit untuk mendeteksi apabila ada indikasi praktik persaingan tidak sehat. Dalam beberapa kasus, struktur oligopolistik memungkinkan terjadinya pemufakatan atau kolusi antara para pemain besar untuk mengatur harga atau berbagi pasar.

Salah satu bentuk permufakatan yang merugikan pemain baru adalah pembatasan vertikal. Merujuk pedoman Komisi Persaingan Usaha (KPPU), pembatasan yang dimaksud adalah praktik tindakan terkoordinasi yang dilakukan oleh pelaku usaha yang bergerak pada tingkatan yang berbeda dalam rantai produksi atau distribusi.

Tindakan ini kemudian membatasi gerak perusahaan terkait barang atau jasa apa yang boleh diperjualbelikan. Salah satu bentuk pembatasan vertikal adalah perjanjian tertutup atau perjanjian eksklusif. Batasan yang umum ditemukan adalah pabrikan atau pemegang merek besar membuat perjanjian eksklusif dengan distributor tertentu untuk menghalangi distribusi merek lain.

Infografik Insider Tantangan Industri Otomotif

Infografik Insider Tantangan Industri Otomotif. News/Tino

Beberapa sumber Tirto yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa praktek perjanjian eksklusivitas antara pabrikan dan dealer banyak dilakukan oleh brand-brand Jepang. Pabrikan asal negara Sakura ini mengaspal di Indonesia dengan cara membatasi ruang gerak distributor untuk ekspansi dan menjual brand lain.

"Dealer agreement-nya beda dengan yang sekarang kalau yang sekarang sama sekali gak boleh,” ujar sumber yang enggan disebutkan namanya kepada News.

Tim News mencoba menghubungi salah satu ATPM, yakni Toyota Astra Motor (TAM), namun tidak menerima tanggapan terkait klausul eksklusivitas ini.

Lebih lanjut, perilaku ini sering kali sulit diatasi oleh KPPU karena regulasi yang ada tidak memberikan pedoman yang cukup jelas mengenai pengecualian yang diizinkan atau tidak. Alhasil, sering terjadi kebobolan yang merugikan tidak hanya konsumen, tetapi juga pelaku usaha.

Indonesia Competition Lawyers Association (ICLA) membenarkan bahwa banyak ketentuan yang abu-abu yang kerap kali menimbulkan multitafsir. Hal ini kemudian disalahgunakan oleh perusahaan besar untuk mempertahankan posisi dominannya, sehingga membatasi ruang gerak pesaing yang lebih kecil.

Kondisi ini berbeda dengan sentra otomotif dunia, Jepang dan Uni Eropa, yang memberikan deskripsi dan pengecualian yang tegas.

Anti-Monopoly Act (UU Anti-Monopoli) di Negeri Sakura membatasi persaingan yang menghalangi peluang distribusi bagi pesaing dan mempersempit ruang masuk pasar bagi pemain baru. Melalui pendekatan ini, Jepang memastikan adanya perlindungan di seluruh rantai pasok, termasuk dari potensi dominasi pemain besar.

Benua Biru juga menunjukkan sikap serupa yang termaktub dalam pasal 101 ayat 1 dari Treaty on the Functioning of the European Union (TFEU) disebutkan mengenai pelarangan perjanjian antara perusahaan yang berpotensi memengaruhi perdagangan antara negara anggota.