News - Sejak dulu, profesi dokter atau tabib menempati posisi yang terhormat di masyarakat. Selain fungsinya sebagai garda terdepan kesehatan, dokter di masa lampau juga dihormati akan kedudukannya yang masuk dalam golongan cendikiawan.

Dalam bahasa Jawa Kuno, misalnya, menurut Kamus Bahasa Jawa Kuno-Indonesia karya P.J. Zoetmulder (1985), dokter disebut sebagai “waidya”. Istilah ini mungkin sekali bentuk derivasi dari kata Sanskerta “veda”, yang merujuk pada kitab suci umat Hindu. Artinya, seorang dokter dianggap sebagai orang-orang yang menguasai ilmu veda atau pengetahuan kedewataan.

Masyarakat Hindu-Buddha paham benar bahwa posisi dokter sangat vital. Dalam kepercayaan mereka, dokter memiliki posisi yang sakral. Dalam kepercayaan Buddha, misalnya, dokter ditempatkan istimewa melalui keberadaan cerita Jivaka—dokter pribadi Sang Buddha.

Jivaka dalam kanon-kanon Buddha awalnya merupakan dokter pribadi dari Raja Bimbisara dari Kerajaan Magadha. Namun karena kemudian ia dipercaya sebagai dokter dari Pangeran Siddharta dan menjadi salah satu murid awal sang Buddha, ia dianggap menjadi ikon kedokteran dalam ajaran Buddha.

Thomas S. N. Chen dan Peter S. Chen dalam “Jivaka, physician to Buddha” (2002), mengatakan bahwa Jivaka tiga hari sekali mengecek kesehatan sang Buddha. Oleh karena sering berinteraksi dengan Sang Sakyamuni, Jivaka kemudian menjadi sering mendapat pengajaran dari Sang Buddha.

Atas ketaatannya terhadap sang Buddha, Jivaka mendirikan salah satu vihara tertua di dunia, yakni Sangha Jivakrama. Vihara ini pernah dikunjungi oleh Biksu Tang Xuanzhang (di Indonesia terkenal dengan nama Tong Sam Cong), ketika ia mengunjungi India pada abad ke-7. Sampai sekarang, negara-negara dengan populasi Buddhis terbesar seperti Thailand dan Tiongkok, menjadikan Jivaka sebagai patron utama dalam dunia kedokteran tradisional mereka.

Maka itu, tidak mengherankan jika sejak dahulu para tabib telah direkam dalam data arkeologis dan epigrafis di masa awal sejarah. Boechari dalam “Manfaat Studi Bahasa dan Sastra Jawa Kuno ditinjau dari Segi Sejarah dan Arkeologi” (2012) mengatakan bahwa walyan atau tabib termasuk ke dalam golongan mangilala drabya haji atau abdi raja yang digaji oleh pajak rakyat.