News - Keputusan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, menarik negara yang dipimpinnya dari Perjanjian Paris rupanya bikin Indonesia seolah kehilangan arah. Pada 2015, Indonesia bersama ratusan negara lainnya, termasuk AS, menandatangani perjanjian ini sebagai kesepakatan global dalam menghadapi perubahan iklim.

Namun demikian, pasca AS hengkang, Pemerintah Indonesia jadi kelimpungan. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, baru-baru ini mengatakan komitmen Indonesia terhadap transisi menuju energi baru dan terbarukan (EBT) makin berada dalam kondisi penuh ketidakpastian.

“Kenapa? Karena energi baru terbarukan ini, kan, komitmen dari Paris Agreement. Yang menginisiasi Paris Agreement perlahan-lahan sudah mulai mundur. Amerika sudah mulai mundur dari itu setelah mengkaji ulang,” kata Bahlil di The Westin, Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Bahlil pun mempertanyakan keberlanjutan komitmen terhadap Paris Agreement usai mundurnya AS dari kesepakatan tersebut.

“Presiden Amerika baru terpilih langsung mundur barang ini? Mundur daripada Paris Agreement, padahal salah satu yang mempelopori. Dia yang memulai, tapi engkau juga yang mengakhiri,” ujarnya.

Kata Bahlil, AS merupakan negara yang memiliki peran besar dalam pembentukan dan pemeliharaan kesepakatan internasional terkait perubahan iklim. Maka, ketika negara pelopor mundur, meminjam kata Bahlil, “masak kita yang follower ini mau masuk pada jurang itu?”

Ketum DPP Partai Golkar tersebut mengakui kalau biaya atau ongkos untuk pengembangan EBT lebih besar ketimbang energi dengan emisi karbon yang masih tinggi.

Bahlil menjelaskan, mewujudkan kedaulatan energi tak harus berarti seluruh energi diganti menjadi EBT. Dia mengatakan, Indonesia masih melakukan perhitungan potensi energi hijau yang ada, seperti dari matahari, air, geothermal, batu bara, dan angin.