News - Atef Abu Saif merupakan seorang novelis Palestina yang telah menjabat sebagai Menteri Kebudayaan di Otoritas Palestina sejak 2019. Dia mencatat pengalamannya bertahan hidup dari serangan terbaru di Gaza melalui bukunya yang bertajuk ‘A Diary of Genocide’.

Saif menggambarkan bagaimana kehidupan di Gaza dengan merinci trauma pengalamannya melalui gambaran yang sangat jelas. Ia juga menceritakan kisah tragis tentang orang-orang terkasih yang terbunuh dan keluarga yang terluka permanen.

“Saya telah mengalami semua perang di Gaza, di dalam Gaza. Jadi, saya menceritakan tentang diri saya dan anak saya dan sebenarnya, saya menulis ini karena saya berpikir saya akan mati. Jadi, saya ingin orang mengetahui cerita tentang saya. Saya tidak ingin kematian saya terlupa seperti ini," ujarnya saat berbincang dengan Tirto saat ditemui di Perpustakaan Taman Ismail Marzuki Cikini, Jakarta, Rabu (23/10/20204).

Sebagai seorang penulis, Saif mengaku menulis adalah panggilan jiwa. Maka, ketika menjadi panggilan, tak perlu lagi digerakkan oleh orang lain. Akan tetapi bergerak dengan hatinya sendiri.

“Karena itu yang saya lakukan. Itu yang saya bisa lakukan, saya bisa menulis. Jadi, ketika bom-bom jatuh, dan jet-jet yang menghancurkan setiap bangunan, apa yang bisa Anda lakukan sebagai penulis? Anda menulis tentang tempat-tempat ini," kata Saif.

Dalam kesempatan ini, Tirto berkesempatan untuk berbincang langsung dengan Saif mengenai pengalamannya secara rinci soal serangan Israel, hingga hubungan serta dukungan Indonesia kepada Palestina. Berikut petikan wawancaranya:

Lebih dari satu tahun agresi Israel di Gaza. Dan Anda menggambarkan situasi di Gaza dalam sebuah buku Diary of Genocide. Apakah Anda ingin menceritakan sedikit tentang buku ini?

Buku itu adalah hal pribadi saya di dunia, di mana saya menceritakan cerita terhadap diri saya. Ini adalah sebuah pekerjaan yang lebih pribadi, yang merangkum pertanyaan secara umum, situasi secara umum. Walaupun saya tidak berpikir untuk menulis sebuah buku, saya baru saja mulai menulis tentang apa yang terjadi pada saya. Saya bahkan belum mulai menulisnya sebelum hari ke-10, setelah itu saya mulai menulisnya.

Saya juga mulai menulisnya dalam bahasa Inggris, karena saya merasakan bahwa itu adalah sesuatu yang bisa saya beli. Saya ingin orang-orang mengetahui tentang saya, jadi itu merupakan sebuah naratif yang lebih pribadi. Saya melakukan laporan pribadi, dan itu sangat penting pada saat itu, terutama karena Israel membunuh jurnalis pada saat itu. Banyak jurnalis telah terbunuh, rumah jurnalis, pejabat dan studio kami telah hancur. Pada saat tertentu, mulai dari minggu ke-3, kita tidak memiliki jurnalis di Gaza.

Kebanyakan jurnalis telah hilang. Baru-baru ini, setelah tiga bulan perang, kita mulai memiliki jurnalis yang melaporkan dari Gaza. Mereka bukan jurnalis profesional. Mereka seperti jurnalis junior, yang terjadi adalah kami kekurangan sumber informasi.

Mereka mulai menggunakan ponsel, jadi mereka datang ke Al-Jazeera untuk melaporkan, yang saya tahu secara pribadi. Pada saat tertentu, menulis itu seperti media alternatif, melaporkan kembali, dan memberitahu apa yang hilang di berita. Saya menulis secara konsisten, tapi orang lain menulis secara periode. Jadi, jurnalis-jurnalis ini mengambil sumber informasi pada saat tertentu. Tapi ini adalah apa yang saya lakukan sebagai penulis. Pada saat saya merasa mungkin saya akan meninggal dan anak-anak saya yang mengikuti saya ke Gaza mungkin juga akan meninggal. Jadi, saya melakukan tugas saya sebagai seseorang yang berbakat, dan memiliki kemampuan untuk melakukan sesuatu, yaitu menulis.