News - Rencana pembentukan Dewan Media Sosial (DMS) kembali mengemuka. Menteri Komunikasi dan Informatika, Budi Arie Setiadi, mengatakan bahwa rencana pembentukan DMS layak dilakukan setelah mendengar saran dan aspirasi sejumlah CSO. Kajian akademiknya juga disebut diprakarsai oleh UNESCO.

"Wacana pembentukan DMS merupakan respons positif pemerintah atas masukan yang diberikan oleh teman-teman CSO dan didukung oleh kajian akademik yang diprakarsai oleh UNESCO," kata Budi kepada Tirto, Rabu (29/5/2024).

Budi juga mengatakan bahwa pemerintah pun tengah mengkaji wacana tersebut. Dia mengklaim pemerintah terbuka atas masukan-masukan selanjutnya. Menurutnya, kehadiran DMS adalah upaya membuat tata kelola media sosial yang lebih baik.

"Jika memang terbentuk, DMS ditujukan untuk turut memastikan dan mengawal kualitas tata kelola media sosial di Indonesia yang lebih akuntabel. Usulan DMS berbentuk jejaring atau koalisi independen lintas pemangku kepentingan, seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi, pers, komunitas, praktisi, ahli, pelaku industri, dan sebagainya," kata Budi Arie.

Selain itu, Budi menyebut kehadiran DMS bisa berdampak positif dan baik untuk kebebasan berpendapat di media sosial.

"Jika terbentuk, DMS dapat menjadi mitra strategis pemerintah dalam tata kelola media sosial, termasuk memastikan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di ruang digital," kata Budi.

Konferensi pers Menkominfo terkait investasi Microsoft

Menkominfo Budi Arie Setiadi (tengah) bersama Staf Khusus Menkominfo Widodo Muktiyo (kanan) dan Sugiharto (kiri) memberikan keterangan pers terkait hasil pertemuannya dengan CEO Microsoft Satya Nadella di Jakarta, Selasa (30/4/2024). ANTARA FOTO/ Rivan Awal Lingga/Spt.

Rencana pembentukan DMS sesungguhnya telah bergulir sejak 2023. Gagasan pembentukan DMS tersebut semula dicetuskan oleh lembaga swadaya Article-19 yang kemudian didukung UNESCO. Akan tetapi, rencana tersebut dikritik sejumlah pihak karena dinilai sebagai upaya mengatur konten dan ekspresi masyarakat.

Salah satu kritik atas klaim Menkominfo soal DMS tersebut datang dari peneliti ELSAM, Parasurama Pamungkas. Menurutnya, DMS tidak relevan dalam kondisi kekinian Indonesia, terutama di sisi politik. Dia beralasan bahwa Indonesia masih gagap dalam isu kebebasan berekspresi.

"Indonesia punya problem soal kebebasan berekspresi, kebebasan pers, dan ada kecenderungan bahwa otoritas, dalam hal ini pemerintah, itu selalu mencoba merebut kontrol atas lembaga-lembaga multi-stakeholder seperti ini," kata Parasurama pada Rabu (29/5/2024).

Parasurama menambahkan bahwa pemerintah juga kerap tidak terbuka dalam proses pembuatan regulasi. Oleh karena tabiat itu, dia khawatir keberadaan DMS malah akan semakin menurunkan mutu kebebasan berekspresi di Indonesia.

Parasurama memberi contoh yang terjadi di Irlandia. Pembentukan DMS di Irlandia, menurutnya, malah berujung pada pembatasan kebebasan berekspresi. Karena itulah, dia khawatir Pemerintah Indonesia justru akan mengkooptasi DMS dan menggunakannya sebagai alat untuk mengawal kepentingan elite.

Bagi Parasurama, DMS pun tidak bisa menyelesaikan masalah utama di media sosial, yakni ketidakjelasan pengaturan konten hingga jenis maupun mekanisme penanganan konten bermasalah.

Dalam masalah soal “konten bermasalah” tersebut, definisi pemerintah dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 pun dinilai tidak jelas karena hanya pemerintahlah yang mempunyai wewenang untuk mengatur mana konten bermasalah dan tidak.

"Sebenarnya solusi Dewan Media Sosial ini adalah solusi yang salah obat. Masalah terkait tadi [konten bermasalah] solusinya justru ini," kata Parasurama.

Ketimbang membentuk DMS, Parasurama lebih mendorong perbaikan regulasi yang mengatur konten media sosial secara proporsional dan menjunjung semangat kebebasan berekspresi. Misalnya, pemerintah bisa saja membuat regulasi yang membatasi konten-konten yang memuat diskriminasi SARA.

Selama ini, menurutnya, pemerintah terlalu sensitif terhadap konten berisi kritik kebijakan dan politik, tapi malah abai pada konten yang menampilkan diskriminasi terhadap kelompok minoritas seperti etnis Rohingya. Padahal, konten-konten berisi ujaran diskriminatif itulah yang seharusnya ditindak.

Oleh karena itu, Parasurama mendorong pemerintah untuk memperbaiki regulasi Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 dan PP Nomor 71 Tahun 2019 tentang PTSE pada poin konten berekspresi yang kemungkinan menimbulkan penafsiran beragam. Hal itu penting demi mencegah penggunaan tindakan takedown.