News - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indonesia kembali alami deflasi pada Juli 2024 yakni sebesar 0,18 persen. Deflasi ini merupakan ketiga kalinya dan terjadi secara beruntun pada tahun ini sejak Mei 2024. Pada Mei terjadi deflasi 0,03 persen dan Juni 0,08 persen.

Deflasi Juli 2024 ini lebih dalam dibandingkan Juni 2024 dan merupakan deflasi ketiga pada 2024,” ujar Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam konferensi pers di Jakarta, Kamis (1/8/2024).

Komoditas utama penyumbang deflasi yakni bawang merah sebesar 0,11 persen, cabai merah menyumbang andil deflasi sebesar 0,09 persen, tomat menyumbang deflasi sebesar 0,07 persen, dan daging ayam ras menyumbang andil deflasi sebesar 0,04 persen.

Sementara kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar adalah makanan, minuman, dan tembakau dengan deflasi sebesar 0,97 persen serta memberikan andil deflasi sebesar 0,28 persen.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, mengatakan, deflasi terjadi selama tiga bulan beruntun ini tentu menjadi alarm bagi pemerintah. Karena saat bersamaan rupiah melemah dan yang akan terjadi adalah imported inflation.

Imported inflation merupakan inflasi yang berasal dari luar negeri. Inflasi ini bisa timbul karena kenaikan harga-harga di luar negeri atau di negara-negara mitra dagang utama.

“Ini kalau deflasi berturut-turut justru indikasi adanya tekanan bagi pelaku usaha untuk menahan kenaikan harga di level konsumen,” ujar Bhima kepada Tirto, Jumat (2/8/2024).

Bhima mengatakan, ketika pelaku usaha menahan kenaikan harga di tingkat konsumen, artinya mereka tidak diuntungkan dengan adanya deflasi. Deflasi ini justru menunjukkan ada yang tidak beres dari geliat ekonomi, khususnya pasca lebaran.

“Khawatir harga ritel naik dan banyak konsumen yang tidak sanggup dan akhirnya menurunkan omzet penjualan. Biaya bahan baku dan mesin naik, tapi enggak berani naikkan harga jual, ini kan artinya pelaku usaha tidak diuntungkan," jelas Bhima.

Bhima menuturkan, kondisi deflasi ini tidak lepas dari pelemahan daya beli kelas menengah yang menurun. Hal ini bisa tercermin dari beberapa indikator seperti penurunan penjualan kendaraan bermotor dan Non Performing Loan (NPL) Kredit Pemilikan Rumah (KPR) naik.

Berdasarkan data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan wholesales (pabrik ke dealer) mobil secara nasional turun 21 persen year on year (YoY) menjadi 334.969 unit pada Januari-Mei 2024. Setali tiga uang, penjualan ritel (dealer ke konsumen) mobil nasional juga berkurang 14,4 persen yoy menjadi 361.698 unit.

Sementara data terbaru Bank Indonesia (BI) mencatat kenaikan posisi rasio NPL KPR Subsidi menjadi 3,65 persen per April 2024, naik dari posisi sebelumnya 3,36 persen pada April 2023 lalu. Rasio NPL kredit macet tersebut juga naik dari posisi Kuartal I-2024 yang sebesar 3,58 persen per Maret 2024.

Chief Economist of BCA Group, David Sumual, melihat ada indikasi terhadap penurunan daya beli masyarakat yang menyebabkan terjadinya deflasi berturut-turut. Namun di luar itu, deflasi terjadi lebih karena harga pangan alami penurunan cukup dalam karena pasokan cukup.

“Permintaan global juga lemah. Inflasi inti sesuai ekspektasi. Dan Indikasinya memang daya beli lemah," ujarnya kepada Tirto, Jumat (2/8/2024).

Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menambahkan terjadinya deflasi tiga bulan terakhir karena adanya penurunan permintaan di tengah perlambatan ekonomi dan kebijakan moneter yang ketat. Sejak tahun lalu, BI telah menaikkan suku bunga dan melakukan kontraksi moneter meskipun inflasi relatif rendah dan stabil.

Kebijakan BI tersebut, kata Piter, lebih ditujukan untuk menjaga nilai tukar rupiah. Dampaknya permintaan semakin tertekan yang kemudian berdampak kepada inflasi yang menurun bahkan terjadi deflasi berturut-turut selama tiga bulan.

“Rendahnya permintaan masih akan berlangsung selama kebijakan BI masih tetap hawkish dan kontraktif,” kata Piter kepada Tirto.