News - Memasuki abad ke-14 Masehi, para pujangga Jawa Kuno perlahan mulai melepas hegemoni cerita India dalam karya sastra yang mereka tulis.

Jika sebelumnya teks-teks India dibumikan sedemikian rupa, maka pada periode ini ide-ide tulisan berlatar sosial budaya asli Jawa mulai disebarluaskan. Teks-teks lokal itu bahkan masih terdengar sampai hari ini, misalnya cerita Panji, Calon Arang, dan lain-lain.

Berbarengan dengan munculnya teks cerita-cerita lokal, karya sastra yang memuat peristiwa historis juga mulai dikembangkan, walau dalam genre puja sastra—karya sastra yang berisi puja-puji terhadap raja. Satu dari banyak puja sastrayang tersohor adalah Kakawin Nagarakrtagama.

Menurut Th. Pigeaud dalam Java in the Fourteenth Century. A Study in Cultural History The Nāgara Kŗtāgama By Rakawi Prapañca of Majapahit, 1365 A.D (1960-63), meski Prapañca sang penulis mengklaim bahwa tujuan penulisan kakawinitu "untuk menguji kemampuannya", karya sastra ini secara umum berisi puji-pujian terhadap Raja Hayam Wuruk melalui uraian sejarah kegemilangan pemerintahan serta silsilah keluarganya.

Tidak hanya muncul di Jawa, teks yang membicarakan soal raja-raja juga muncul di Tatar Sunda. Satu di antaranya adalah Carita Parahyangan yang ditulis pada abad ke-16.

Berbeda dengan Nagarakrtagama yang hanya menyinggung soal Hayam Wuruk dan raja-raja Majapahit lain yang hidup di abad ke-13 dan 14, linimasa peristiwa yang disebut dalam Carita Parahyangan merentang sampai masa pemerintahan raja-raja Sunda Galuh abad ke-8.

"Sumber tertulis utama yang masih menjadi acuan utama sejarah Sunda Kuna adalah naskah Carita Parahyangan, hanya saja Carita Parahyangan mulai bertutur sejak sekitar zaman tampilnya Raja Sanjaya yang disebutkan dalam isi Prasasti Canggal (732 M) yang ditemukan di daerah Sleman, Jawa Tengah", tulis Agus Aris Munandar dalam Tatar Sunda Masa Silam (2010).

Perbedaan lain yang cukup unik dari Carita Parahyangan dibandingkan dengan teks-teks puja sastra Jawa adalah bentuk uraian yang disampaikan. Tengara ini terlihat dari bagaimana manuskrip yang unicum (tanpa salinan) ini padat dengan kisah dosa-dosa para raja Sunda Galuh.

Kendati tidak pernah diketahui siapa yang menulis Carita Parahyangan, bisa dipastikan bahwa penulisnya seseorang oposan terhadap rezim-rezim bobrok Kerajaan Sunda-Galuh. Ia berani secara terbuka mengkritik apa yang dianggap tidak ideal dari para raja.