News - Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, berencana mengunjungi Rusia di tengah-tengah situasi berkecamuk perang antara Hamas-Israel. Siapa dan bagaimana sepak terjang Mahmoud Abbas selama ini?

Laman TASS (Russian News Agency) memberitakan pada Rabu, 11 Oktober 2023, Presiden Palestina, Mahmoud Abbas, akan melakukan kunjungan kerja ke Rusia.

Belum diketahui kapan kunjungan tersebut berlangsung. Namun demikian, rencana itu tampaknya segera terwujud dalam waktu dekat.

"Ya, kunjungan (Mahmoud) Abbas sudah dijadwalkan. Saya belum bisa mengatakan tanggal pastinya, tetapi dalam waktu dekat," ungkap Yury Ushakov, ajudan kepresidenan Rusia urusan luar negeri.

"Kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan, namun tanggal pastinya masih dinegosiasikan. Ini akan disepakati dengan cepat," lanjutnya.

Sementara juru bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, menyatakan kunjungan Mahmoud Abbas sudah jauh-jauh hari direncanakan.

Ia tidak menjelaskan secara rinci apakah lawatan ini termasuk sebagai dampak meningkatnya eskalasi perang antara Palestina-Israel.

"Kunjungan ini sudah direncanakan sebelumnya dan kami akan memberitahu Anda segera setelah semuanya selesai," beber Peskov.

Kunjungan Abbas ke Rusia terakhir kali terjadi pada November 2021. Ia sempat menemui Presiden Rusia, Vladimir Putin, pada Oktober 2023, di Astana, Kazakhstan.

Profil Mahmoud Abbas: Bagaimana Hubungannya dengan Hamas?

Mahmoud Abbas atau Abu Mazen lahir di Safed, Palestina, pada 1935, ketika Inggris masih menguasai wilayah itu. Usia Abbas sekarang 88 tahun.

Pada 1948, Mahmoud Abbas beserta keluarganya pernah menjadi pengungsi di Suriah, Qatar, Yordania, Tunisia, hingga Lebanon akibat Perang Arab-Israel.

Menurut laman Britannica, status tersebut tidak menghalanginya untuk menyelesaikan pendidikan hingga mendapatkan gelar sarjana hukum di Universitas Damaskus.

Atas kepiawaiannya, Mahmoud diangkat Yasser Arafat sebagai salah satu petinggi Fatah, faksi yang mendominasi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO).

Ia pernah menjabat Kepala Departemen Internasional PLO dan berperan signifikan dalam menjalin hubungan dengan kelompok perdamaian Israel.

Abbas selama ini dikenal sebagai salah satu tokoh Palestina yang kerap aktif dalam perjanjian damai dengan kubu Israel.

Selain pertemuan rahasia di Norwegia, ia juga menjadi pelopor Kesepakatan Oslo tahun 1993 yang menyatakan Palestina dan Israel saling mengakui serta terwujudnya pemerintahan Otoritas Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Pasca-meninggalnya Yasser Arafat pada 1994, Mahmoud Abbas menjadi pemimpin PLO. Lewat kemenangan Pemilu 2005, ia ditetapkan sebagai Presiden Otoritas Palestina menggantikan posisi Yasser Arafat.

Selama menjadi pemimpin Otoritas Palestina, Mahmoud Abbas selalu dibayangi pertikaian antara faksi Fatah dan Hamas.

Mengutip laman BBC, Abbas bersikap menentang perjuangan bersenjata yang lebih identik dengan Hamas. Ia lebih memilih negara Palestina yang merdeka via jalur diplomasi dan negosiasi.

Dia mendapatkan dukungan yang kuat dari komunitas internasional. Alhasil, kucuran dana dari Amerika Serikat hingga Eropa terus mengalir ke Tepi Barat.

Setelah Hamas memenangkan Pemilu 2006 dan memegang kendali utama atas Jalur Gaza, Abbas hanya memerintah Tepi Barat saja. Saat ini, situasi yang sangat kontras pun terjadi di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Al-Jazeera menuliskan, di tengah kondisi perang antara Israel-Hamas di Jalur Gaza, Abbas bersama Fatah yang memerintah di Tepi Barat terus berusaha untuk menjalin kerja sama yang baik dengan pihak Israel dengan alasan perdamaian.

Hal ini lantas menimbulkan anggapan bahwa dirinya dinilai terlalu lemah dalam menghadapi Israel. Akan tetapi, nyatanya Abbas juga pernah menunjukkan sikap tegas mengenai Israel.

Terkait rencana eks Presiden AS, Donald Trump, yang ingin memindahkan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) di Israel ke Yerusalem pada 2017, Abbas langsung bereaksi keras.

"Konsekuensi berbahaya dari keputusan tersebut terhadap proses perdamaian dan perdamaian, keamanan, dan stabilitas kawasan dan dunia," katanya.

Mahmoud Abbas juga menunjukkan nyali dalam menindaklanjuti sejumlah aksi Israel yang menimbulkan ketegangan di kompleks Al-Aqsa pada Juli 2017 silam.

"Penangguhan semua kontak dengan pihak Israel di semua tingkatan sampai mereka membatalkan tindakannya di Masjid Al-Aqsa dan mempertahankan status quo," beber Abbas.