News - Harga beras yang melambung tinggi dan defisit stok beras mengguncang negeri sejak awal 2024. Masyarakat masih kesulitan mendapat harga beras di bawah harga eceran tertinggi (HET). Sejumlah praktisi menilai, hal ini seharusnya menjadi momentum pemerintah bertindak serius membahas diversifikasi pangan lokal non-beras untuk membangun kemandirian pangan masyarakat.

Indonesia memiliki keberagaman sumber dan budaya pangan lokal yang kaya. Namun, hal itu tersingkirkan karena kebijakan pangan pemerintah lebih fokus pada beras dan terigu yang berasal dari gandum impor. Alhasil, anjuran penganekaragaman pangan lokal yang ada saat ini masih sebatas seruan dan seremonial.

Pengamat pangan dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia, Khudori, memandang defisit dan kenaikan harga beras adalah fenomena yang berulang. Itu menjadi pertanda bahwa peluang pemerintah untuk serius mendorong diversifikasi pangan lokal selalu ada.

“Diversifikasi pangan lokal sebetulnya peluangnya ada untuk bisa dikembangkan dan diterima masyarakat. Ketika beras harganya tinggi dan daya beli terganggu, jika ada pangan alternatif yang murah dan sisi gizi tidak jauh dari beras, tentu warga akan beralih,” kata Khudori dihubungi reporter Tirto, Selasa (27/2/2024).

Namun, kata dia, mendorong diversifikasi pangan lokal saat ini memang tidak mudah. Utamanya, kebijakan politik pangan pemerintah masih bias beras dan terigu. Menurut Khudori, konsumsi pangan di kota paling besar adalah beras, disusul oleh terigu yang masih berbasis bahan impor, di posisi terakhir barulah ditempati pangan lokal dalam jumlah yang sangat kecil dan terbatas.

Khudori menuturkan, kebijakan pemerintah kepada beras sudah superior sejak dulu. Saat ini, tingkat partisipasi masyarakat pada beras sudah 100 persen atau sudah mencapai seluruh wilayah Indonesia. Padahal, sebelumnya masyarakat di berbagai daerah punya pangan lokal yang dikonsumsi rutin sebelum hegemoni beras yang didukung kebijakan jor-joran menyingkirkan mereka.

“Misal darah Maluku ada sagu, di Madura ada jagung, Papua juga mengkonsumsi umbi-umbian. Tapi masyarakat beratus-ratus tahun bergantung pangan lokal, bergeser ke beras karena kebijakan pemerintah yang at all cost ke beras sampai akhirnya superior,” ujar Khudori.

Sebetulnya, kesadaran bahwa kita tidak hanya bisa bergantung pada produksi padi sudah muncul di era Presiden Sukarno. Pemerintah saat itu juga mendorong konsumsi pangan lokal seperti jagung, namun hasilnya tidak signifikan. Justru obsesi pemerintah pada beras semakin moncer, setelah Presiden Soeharto naik tahta dan menggaungkan revolusi hijau.

Pada awal 70-an kebijakan pemerintah pada beras semakin gencar, apalagi dengan target swasembada pangan era Soeharto. Kebijakan ini pun dilakukan sangat masif dan tidak jarang represif, sehingga beras mampu masuk ke berbagai daerah agar mudah diakses dan terbiasa dikonsumsi warga. Lambat laun, tradisi dan budaya warga dalam mengkonsumsi pangan lokal bergeser pada kebiasaan makan nasi.

Hal ini misalnya tergambar pada liputan Tirto di Manggarai, NTT. Masyarakat Manggarai pada tahun 70-an awal masih sering menemukan olahan sorgum sebagai pangan pokok di meja makan. Namun 10 tahun kemudian, sejak warga menanam padi, sorgum perlahan menghilang dari meja makan dan berakhir sebagai pakan ternak atau burung liar.

“Kalau pemerintah mau mendorong pangan lokal menjadi substitusi pengganti beras. Buatlah pangan lokal mendekati sifat-sifat beras. Sehingga masyarakat punya pilihan dan akses itu ada di pasar,” jelas Khudori.

Pemerintah saat ini, kata Khudori, menyerah pada mekanisme pasar sehingga kesulitan mendorong pangan lokal. Dia menilai seharusnya pemerintah daerah mengisi cadangan pangan dengan komoditas lokal sehingga masyarakat terbiasa dan produksi bisa dilakukan petani. Namun, negara dipandang belum hadir sepenuhnya berpihak pada pangan lokal.

“Buatlah pangan lokal memiliki sifat beras. Gizinya bagus, aksesnya mudah dan rasanya netral, di sisi lain bisa dengan teman lauk pauk lain. Ini yang harus dipikirkan pemerintah,” tutur dia.