News - Sejak 2022, Rizky (bukan nama sebenarnya) memilih untuk menonaktifkan kepesertaan BPJS Kesehatannya dengan cara tidak membayarkan iuran setiap bulannya. Pria asal Bekasi, Jawa Barat itu lebih memilih menggunakan asuransi milik swasta ketimbang memakai BPJS Kesehatan untuk sekedar urusan berobat atau sakit.

Rizky mengaku punya riwayat buruk terhadap layanan di salah satu klinik dan rumah sakit rekanan BPJS Kesehatan. Ia bercerita, pada saat pertengahan 2018 lalu, anaknya sempat jatuh sakit. Saat itu, ia membawanya ke klinik terdekat kediamannya berada di Kecamatan Setu, Bekasi. Alih-alih mendapat tindakan, ia justru dialihkan untuk mencari klinik lain.

“Alasannya nggak masuk akal menurut saya waktu itu, karena tidak ada yang nanganin” ujar pria berusia 31 tahun tersebut kepada Tirto, Jumat (3/1/2024).

Tak mau berdebat, ia akhirnya memutuskan untuk pergi ke rumah sakit yang jaraknya lumayan jauh berkisar 20-25 menit. Sesampainya di rumah sakit tersebut, ia kemudian harus antri dan menunggu lama lantaran banyak pasien yang menggunakan BPJS Kesehatan. Butuh setidaknya waktu 1-2 jam kemudian, baru kemudian anaknya mendapatkan pemeriksaan.

“Prosedurnya di RS itu lama dan ribet menurut saya. Beda kalau dengan pasien umum atau menggunakan asuransi nggak pakai ribet-ribet,” ucap dia.

Keluhan lainnya terhadap kepesertaan BPJS Kesehatan juga sempat ramai diperbincangkan di salah satu aplikasi X (dulu bernama Twitter). Aturan baru yang diberlakukan BPJS Kesehatan membuat netizen berpikir untuk memilih gunakan asuransi milik swasta. Ini lantaran BPJS Kesehatan merilis ada 144 penyakit yang diklaim tidak bisa langsung dirujuk ke rumah sakit atau fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjutan (FKRTL).

Nantinya, peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang didiagnosis terkena penyakit tersebut mau tidak mau harus mendapatkan pengobatan di fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP).

“BPJS tidak bisa diandalkan lagi nih. Kalau gini ceritanya, please sharing dong, asuransi kesehatan swasta yang sistem dan preminya nggak beda jauh sama BPJS,” tulis akun @tanyakanrl dikutip Tirto.

Selain keluhan-keluhan tersebut, hal lain turut mendapat sorotan masyarakat adalah adanya pernyataan pegawai BPJS Kesehatan yang mengaku menggunakan asuransi swasta untuk berobat. Meski tidak menyebutkan nama pegawai, akun tersebut mengaku menggunakan asuransi non-BPJS Kesehatan karena kecepatan pelayanan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, melihat banyaknya keluhan dari masyarakat terhadap pelayanan BPJS Kesehatan itu karena ketidakpuasan terhadap layanan diberikan baik di FKTP maupun rumah sakit. Sebab, berdasarkan aduan diterima BPJS Watch sengkarut pelayanan rumah sakit yang buruk terhadap peserta BPJS Kesehatan dilakukan secara beragam.

Timboel mencontohkan, mulai dari obat yang seharusnya dikasih untuk 30 hari menjadi hanya tujuh hari. Kemudian banyak pasien yang belum layak pulang, justru disuruh pulang setelah mendapatkan perawatan tiga sampai empat hari di rumah sakit. Belum lagi, ada item-item kesehatan lain yang dibebankan atau disuruh beli secara mandiri.

“Jadi persoalannya memang bagaimana terkait dengan pelayanan ya menurut saya itu memang harus benar-benar yang menjalankan pengawasan,” ujar Timboel, saat dihubungi Tirto, Jumat (3/1/2025).

Timboel menekankan, memang seharusnya ini menjadi tanggungjawab pemerintah atau BPJS Kesehatan untuk melakukan upaya pengawasan di lapangan. Karena menurutnya tidak semua rumah sakit itu adalah ‘malaikat’. Banyak juga rumah sakit-rumah sakit yang cenderung nakal dan melakukan diskriminatif terhadap peserta aktif BPJS Kesehatan.

Perpanjangan SIM dengan menyertakan BPJS kesehatan

Warga memperlihatkan Surat Izin Mengemudi (SIM) dan kartu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) kesehatan atau JKN saat mengurus perpanjangan SIM di Polresta Banda Aceh, Aceh, Rabu (3/7/2024). Polri melakukan masa uji coba pembuatan dan perpanjangan SIM A, B dan C dengan menyertakan BPJS kesehatan atau JKN di provinsi Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Kalimantan Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Timur (NTT) sejak 1 Juli hingga 30 september 2024. ANTARA FOTO / Irwansyah Putra/Spt..

Padahal jelas, kata Timboel dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, tidak boleh diskriminasi. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan juga disebutkan dilarang diskriminasi terhadap pasien. Artinya keselamatan pasien harus didahulukan tidak memandang ia merupakan peserta BPJS maupun bukan.

“Tapi kan faktanya suka terjadi diskriminasi. Nah itu kan semuanya perilaku rumah sakit. Jadi memang ada peran serta BPJS yang mengawal itu. BPJS tugasnya juga melakukan pengawasan, menerima laporan, keluhan daripada pasien,” jelas dia.

Namun, dalam hal urusan pelayanan, pemerintah menjamin tidak akan membeda-bedakan pasien. Lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) aturan itu mengamanatkan pelayanan kesehatan peserta BPJS Kesehatan berlaku Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

Tujuan perpres ini adalah menjamin masyarakat sebagai peserta BPJS Kesehatan agar mendapatkan perlakuan yang sama. Perlakuan yang sama tersebut di antaranya melalui sarana dan prasarana untuk ruang rawat inap yang disebut dengan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS).

Setidaknya ada 12 komponen yang harus dipenuhi oleh fasilitas kesehatan untuk mencapai KRIS. Sebagian fasilitas kesehatan sudah memenuhi 12 kriteria tersebut tetapi masih ada yang belum memenuhi kriteria tersebut. Implementasi ini pun masih dalam proses.

Sementara untuk sampai dengan 1 Juli 2025, sistem kelas rawat inap di rumah sakit di Indonesia untuk peserta BPJS Kesehatan masih dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kelas 1, kelas 2, dan kelas 3.

Terkait 144 penyakit yang terdaftar sebagai jenis penyakit yang tidak bisa dirujuk ke tingkat fasilitas kesehatan (faskes) lanjutan, setidaknya bisa dikategorikan menjadi tiga jenis yakni kesehatan reproduksi dan KIA (Kesehatan Ibu dan Anak), Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular. Tiga jenis penyakit ini dikategorikan oleh WHO dalam kerangka kerja ‘Tracking Universal Health Coverage: Global Monitoring Report’ sebagai tiga dari empat indikator keberhasilan dalam mencapai kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC).

“BPJS selaku lembaga pemerintah yang menyelenggarakan JKN mesti berhati-hati dalam pengelolaannya,” kata Peneliti Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) bidang Kesehatan Publik, Nuri Ikawati, kepada Tirto, Jumat (3/1/2025).

Berdasarkan laporan WHO dalam Tracking Universal Health Coverage: Global Monitoring Report (2023) skor Indonesia untuk penanganan penyakit menular yaitu TBC dan HIV-antiretroviral therapy sangat rendah, yakni hanya 45 dan 28, sedangkan untuk penyakit tidak menular yang diklasifikasikan menjadi penanganan terhadap hipertensi, diabetes dan pengendalian perilaku merokok Indonesia mendapatkan skor 19, 80 dan 46 secara berurutan.

Secara lebih spesifik, kata Nuri, beberapa provinsi di Indonesia berkontribusi terhadap rendahnya skor ini terutama provinsi dengan sumber daya kesehatan baik fasilitas, fiscal capacity, tenaga kesehatan dan tingkat sanitasi dasar maupun stok obat-obatan yang terbatas sehingga tidak memungkinkan untuk bisa secara efektif menanganinya di tingkat kesehatan pertama.

“Oleh sebab itu, kebijakan untuk membatasi rujukan pasien dengan gejala penyakit – penyakit tersebut justru akan memperparah penanganan lebih lanjut. Hal ini juga kontraproduktif dengan upaya untuk meraih pembangunan kesehatan semesta seperti yang telah dicanangkan melalui JKN,” jelas Nuri.

Namun berdasarkan klarifikasi pihak BPJS Kesehatan, 144 daftar penyakit tersebut tetap bisa mendapat rujukan ke faskes lanjutan jika ada indikasi kebutuhan pemeriksaan lebih lanjut. Meskipun demikian, BPJS merekomendasikan agar klaster penyakit tersebut bisa diselesaikan di faskes tingkat pertama.

“Jika kondisi peserta membutuhkan pemeriksaan lanjutan atau pemeriksaan khusus, maka nantinya peserta akan diberi rujukan oleh FKTP ke rumah sakit untuk dapat dilakukan pemeriksaan oleh dokter spesialis," ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan, Rizzky Anugerah.