News - Anak korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) memerlukan penanganan serius dan menyeluruh untuk memulihkan luka fisik dan psikisnya. Kasus KDRT yang menimpa selebgram Cut Intan Nabila (23), berimbas pula kepada anak-anaknya. Mantan atlet anggar asal Bogor, Jawa Barat itu, menjadi korban tindak kekerasan yang dilakukan oleh suaminya sendiri, Armor Toreador (25).

Armor sudah ditangkap oleh Kepolisian Resor Bogor saat berada di sebuah hotel kawasan Jakarta Selatan, Selasa (13/8/2024). Kasus ini viral setelah publik dibuat geram akibat video yang menunjukkan aksi bejat Armor memukul dan menjambak rambut Intan tersebar. Aksi kekerasan ini diduga sudah dilakukan Armor kepada Intan selama lima tahun berkeluarga.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengaku sudah melakukan pemeriksaan terhadap anak pertama dan kedua Cut Intan Nabila. Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan apakah Armor Toreador, juga pernah menjadikan anak-anaknya korban KDRT.

Komisioner KPAI, Diyah Puspitarini, menjelaskan bahwa pemeriksaan fisik dan psikis tengah diupayakan kepada anak-anak korban. Ia menyatakan, kekerasan terhadap Intan dilakukan di hadapan dua anaknya tersebut, sehingga ada potensi mereka turut jadi korban KDRT secara psikis maupun fisik.

"Intan pernah mengalami KDRT di depan anak-anaknya. Jadi pasti psikis mereka [anak-anaknya] kena juga," kata Diah dihubungi reporter Tirto, Senin (19/8/2024) malam.

Diyah menegaskan, proses penanganan anak korban KDRT harus berjalan cepat. Terutama korban harus segera mendapatkan pendampingan dari pekerja sosial maupun perlindungan hukum.

Semua pihak juga diharapkan memberikan dukungan sampai proses ini selesai. Penanganan kasus ini dilakukan cepat selaras sesuai amanah UU Perlindungan Anak pasal 59A.

“Kami masih meminta pendampingan dan jika dimungkinkan visum ya, karena khawatir anak-anak secara fisik psikis juga terkena KDRT. Kami masih berkoordinasi dengan Polres Bogor,” tutur Diyah menceritakan perkembangan kondisi anak-anak Cut Intan.

Terlepas dari kasus KDRT yang menimpa Cut Intan, Diyah menjelaskan bahwa anak korban KDRT sering kali terabaikan. Menurutnya, dalam pikiran orang dewasa yang berkonflik, sangat jarang memikirkan perasaan anak-anak yang menyaksikan pertikaian mereka di rumah.

Kasus KDRT dan kekerasan kepada anak di Bogor

Polisi mengawal tersangka kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penganiayaan dan kekerasan anak berinisial ATG (tengah) saat konferensi pers di Polres Bogor, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (14/8/2024). ANTARA FOTO/Yulius Satria Wijaya/nym.

Padahal anak-anak secara rasa dan pikiran memahami apa yang terjadi pada orang tua. Apalagi sampai melihat perilaku KDRT orang tua, secara tidak langsung ini akan terbawa ke alam bawah sadar anak-anak.

“Dan lebih miris lagi jika dalam masalah orang tua, anak-anak menjadi pelampiasan konflik mereka,” jelas Diyah.

Jika anak-anak Cut Intan terbukti mengalami kekerasan fisik atau psikis sesuai hasil visum, maka Armor bisa dijerat juga dengan UU Perlindungan Anak. Orang tua yang terbukti jadi pelaku kekerasan terhadap anak mereka, berpotensi mendapatkan pemberatan setengah dari hukuman maksimal.

“Sesuai dengan UU Perlindungan Anak pasal 76C, ini bisa dibuktikan dengan hasil visum et repertum atau visum psikologis,” tutur Diyah.

Peneliti psikologi sosial dari Universitas Indonesia (UI), Wawan Kurniawan, menilai bahwa anak anak yang menyaksikan KDRT terhadap orang tua mereka, sangat rentan mengalami trauma dan masalah kesehatan mental. Paparan terhadap tindak KDRT dapat mengganggu perkembangan psikologis anak dan berpotensi mengalami beberapa gangguan.

“Seperti masalah kecemasan berlebih hingga depresi, dan Gangguan Stres Pascatrauma (PTSD), agresif dan antisosial, hingga masalah akademik dan sosial,” ucap Wawan kepada reporter Tirto.

Wawan menjelaskan, anak-anak yang pernah mengalami atau menyaksikan KDRT sering kali menghadapi potensi dampak jangka panjang yang berlanjut hingga tumbuh dewasa. Pengalaman traumatis seperti KDRT dapat mempengaruhi perkembangan psikologis secara mendalam, dan menciptakan bekas luka emosional yang sulit hilang.

Salah satu dampak utamanya, papar Wawan, mereka berpotensi kesulitan dalam menjalin dan mempertahankan hubungan interpersonal yang sehat. Anak-anak korban KDRT dapat mengalami ketidakpercayaan yang mendalam terhadap orang lain.

“Mengingat pengalaman masa lalu mereka dengan kekerasan dan pengkhianatan, hal ini dapat membuat mereka cenderung menarik diri atau, sebaliknya, terlibat dalam hubungan yang tidak sehat,” kata Wawan.