News - Hari itu Amrus Natalsya tak pernah menyangka akan diajak berkeliling Indonesia oleh Kepala Staf Angkatan Laut, Subyakto. Ia diundang bukan tanpa alasan. Tugas menantinya untuk membuat patung "Pahlawan Laut Indonesia".

Dikutip dari TEMPO edisi 30 Juni 2008, sekali waktu Amrus turun berjalan santai menikmati pemandangan di atas kapal perang korvet Gadjah Mada. Ia berjalan pelan dari kabin perwira ke kamar mandi dengan celana kolor dan kaus singlet. Handuk diselempangkan di lehernya. Sementara orang-orang yang dilaluinya berseragam rapi.

Amrus tanpa sadar melenggang melalui lorong, melewati Sukarno yang tengah menjamu tamu.

"Siapa orang itu?" tanya Sukarnp pada orang di sampingnya.

"Amrus Natalsya," jawabnya.

Mendengar jawaban itu, Sukarno hanya melengos.

Natal dan Syah

Amrus Natalsya lahir di Medan, 21 Oktober 1933, dari pasangan Rustam Syah Alam dan Aminah. Ia anak pertama dari tujuh bersaudara. Keluarga Amrus tergolong kelas menengah.

Dalam buku Amrus Natalsya: Memahat Bahtera Purba dari Pecinan Kota Tua (2021), Ibrahim Soetomo menyebutkan bahwa bapak Amrus sehari-hari berkutat di perusahaan ekspedisi Horizon Cross di Medan, sementara ibunya mengampu tugas mengurus anak di rumah.

Menginjak masa sekolah dasar, guru-guru Amrus terkesima karena bakatnya dalam menggambar. Seluruh karyanya tak pernah diberi nilai di bawah delapan oleh para guru.

"Gambar pertama saya adalah peta dengan simbol gunung dan jalanan Kota Medan saat Pelajaran ilmu bumi (geografi),” tutur Amrus dalam artikel "Sang Petarung" (2015).

Masa SMP, Amrus belajar di sekolah Muhammadiyah. Indoktrinasi tentang kebusukan Partai Komunis Indonesia merasuk ke dalam alam bawah sadarnya.

"PKI bukan partai yang baik," jawabnya saat ditanya guru ihwal pendapatnya tentang pemberontakan PKI di Madiun.

Sejak kecil, ia telah berpikir untuk menambahkan nama belakang dengan "Natalsya". Kata tersebut diambil dari kota asal leluhurnya "Natal" di Tapanuli Selatan, dan "Syah" nama depan kakeknya.

Ketertarikan khusus Amrus pada kesenian terjadi pada periode itu. Ia senang memperhatikan ukiran patung-patung tradisional Batak dan Nias di sekelilingnya. Kegiatannya di sekolah dasar selalu ia habiskan untuk menggambar kapal dan perahu.

"Ia pun selalu mendapat nilai yang bagus untuk mata pelajaran menggambar," tulis Ibrahim Soetomo.

Ketika revolusi 1945 pecah, keluarga Amrus hijrah ke Pematangsiantar, Sumatra Utara. Di tengah kegentingan, hasrat Amrus untuk mengunjungi museum terus membara.

"Amrus muda dianggap gagal menjadi panutan adik-adiknya. Ia doyan keluyuran," catat TEMPO edisi yang sama.

Keluyuran itulah yang menentukan bahtera hidup Amrus untuk menjadi pelukis.

Namun, alih-alih menyetujui sebagai pelukis, orang tuanya justru menginginkan Amrus menjadi arsitek. Mendengar hal itu Amrus tetap bersikukuh akan pilihan hidupnya.

Suatu hari, Amrus diam-diam naik kapal yang hendak berlayar ke ke Jawa. Mimpi mudanya melayang ke Jawa untuk studi di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang telah berdiri pada 1950 di Yogyakarta.

Segala yang dicintainya ia tinggalkan untuk mengejar mimpi: orang tua, adik-adik, dan tanah kelahiran.