News - Tumenggung Wiraguna murka mengetahui istri tercintanya main serong dengan Raden Mas Sayidin, putra mahkota Kesultanan Mataram. Terbakar cemburu, ia putuskan untuk mengakhiri sendiri hidup sang istri.

H.J. de Graaf dalam Disintegrasi Mataram di Bawah Mangkurat I (1987:2) menyebut peristiwa memalukan itu terjadi pada 1637 dan melibatkan Tumenggung Danupaya, Tumenggung Sura Agul-Agul, dan sekitar 20 abdi putra mahkota.

Akibat skandal ini, Sultan Agung mencampakkan Raden Mas Sayidin dari keraton meski hanya sementara dan statusnya sebagai putra mahkota tidak berubah. Kedua tumenggung diwajibkan membayar denda yang berat, dan khusus Sura Agul-Agul diperintahkan merebut Batavia, entah bagaimana caranya. Sedangkan 20 abdi putra mahkota dieksekusi mati.

Raden Mas Sayidin yang selanjutnya bergelar Sunan Amangkurat I, bukan hanya tengara bagi mundurnya Kesultanan Mataram tapi juga raja yang penuh kontroversi. Ulahnya membawa lari istri Wiraguna di usia yang baru 18 tahun hanyalah awal dari sederet skandal yang mengiringi perjalanan kariernya sebagai putra mahkota dan kemudian Raja Mataram.

Setelah Sultan Agung mangkat, Wiraguna masih menduduki jabatan penting di keraton. Namun, bara konflik antara dirinya dan sang raja baru yakni Amangkurat I terus menyala.

Seturut M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia since c.1200 (2001:92), pada 1647 raja mengirim Wiraguna ke Blambangan untuk merebut kembali wilayah itu dari pasukan Bali. Di sana, ia dibunuh sejawatnya, Ngabehi Wirapatra, yang tak lain tangan kanan Amangkurat I.

Nasib yang sama menimpa keluarganya, juga semua yang terlibat dalam skandal 10 tahun sebelumnya. Tak terima dengan pembantaian itu, Pangeran Alit yang merupakan saudara Amangkurat I tapi dekat dengan Wiraguna, mengumpulkan pasukan berjumlah 60-an orang dan sebagian dari kalangan ulama dan santri, lalu bergerak menyerbu keraton.

Dalam geger tersebut pangeran yang masih 19 tahun itu terbunuh. Para ulama dan santri yang mendukungnya, juga keluarga mereka, digiring ke alun-alun. Berdasarkan keterangan Duta Besar VOC Rijklof van Goens, sekitar 6.000 orang dewasa dan anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan, dibantai di tempat tersebut kurang dari setengah jam.