News - Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat ada sekitar 63.947 pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) pada Oktober 2024, melonjak 20,67 persen dibanding bulan sebelumnya yang berjumlah 52.993 tenaga kerja. Jumlah pekerja yang kena PHK juga jauh lebih besar ketimbang periode Oktober 2023 yang sebanyak 45.576 tenaga kerja.

Provinsi DKI Jakarta menjadi wilayah yang paling banyak menyumbang angka PHK, yakni mencapai 14.501 tenaga kerja. Disusul oleh Jawa Tengah sebanyak 12.489 tenaga kerja, Banten 10.702 tenaga kerja, Jawa Barat 8.508 tenaga kerja, dan Jawa Timur 3.694 tenaga kerja.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), Elly Rosita, mengatakan angka tersebut hanyalah yang tercatat. Di luar perusahaan atau pabrik-pabrik, masih banyak para pekerja di industri kecil dan menengah (IKM), usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), atau pekerja dari industri kecil lainnya yang tidak tergabung dalam serikat pekerja juga telah kehilangan pekerjaannya.

“Lalu ada juga teman-teman di perhotelan, pertambangan. Minggu lalu kami melakukan perjalanan ke Berau (Kalimantan Timur), di situ [perusahaan] pertambangan akan ada [PHK] sekitar 400-500 [pekerja] bertahap. Dari anggota [KSBSI] saja ada hampir 5.000 orang, mayoritas di padat karya,” kata Elly kepada Tirto, Selasa (26/11/2024).

Industri padat karya di sektor manufaktur/pengolahan menjadi penyumbang porsi PHK terbesar, yakni mencapai 43,81 persen. Selanjutnya, ada sektor aktivitas jasa 24,31 persen, perdagangan besar dan eceran 13,11 persen, sektor pertanian, kehutanan, perikanan 7,18 persen dan terakhir pertambangan 6,48 persen.

“Masalah utama rakyat dan tenaga kerja itu adalah kepastian bekerja. Jadi, kalau misalnya di-PHK, mereka seharusnya diberitahu enam bulan sebelumnya. Agar mereka bisa misalnya menyiapkan diri untuk mencari pekerjaan dan alasan mereka di-PHK apa. Ketika mereka (perusahaan) tidak ada pengurangan produksi, tidak ada pengurangan ekspor kan itu jadi mencurigakan bagi pekerja,” jelasnya.

PHK yang terjadi sekarang dinilai sebagai akibat dari pelemahan kinerja industri pasca Pandemi Covid-19.

Seperti diketahui, pada 2022 lalu saat banyak negara berupaya memulihkan permintaan masyarakat, bank-bank sentral dunia menaikkan suku bunga acuannya agar ekonomi negara tak makin melemah dan inflasi tidak kian melonjak. Namun, sebagai konsekuensi, mata uang khususnya dari negara-negara berkembang mengalami tekanan dari mata uang dolar AS.

Padahal, bagi industri atau dunia usaha, perkasanya dolar membuat biaya modal yang harus dikeluarkan membengkak. Sehingga perusahaan tidak bisa melakukan ekspansi dan menarik karyawan baru. Sebaliknya, seiring dengan melemahnya produksi, perusahaan akan cenderung mengambil jalan pintas dengan melakukan PHK.

“Namun, jika kita lihat dari kondisinya di pasar eksternal, di pasar luar negeri yang biasa menjadi pasar tradisional [ekspor] kita, ini juga kondisi permintaannya masih rendah. Jadi seperti kita ekspor tekstil, kita yang biasanya ekspor tekstil ke Amerika, Jepang, Eropa, tingkat permintaannya juga rendah. Itu yang semakin menahan tingkat industri manufaktur kita,” jelas Direktur Riset Bright Institute, Muhammad Andri Perdana, saat dihubungi Tirto, Selasa (26/11/2024).

Kini, seiring dengan kembali melemahnya rupiah pasca terpilihnya Donald. J. Trump sebagai Presiden AS dan masih terus berlangsungnya eskalasi geopolitik di Timur Tengah, dia khawatir jumlah PHK akan semakin banyak. Di sisi lain, investasi asing yang sampai saat ini dibanggkan pemerintah tak cukup kuat untuk menahan laju PHK.

“Selama ini investasi yang paling dibangga-banggain pemerintah itu mayoritas ada di sektor pertambangan dan hilirisasi pertambangan yang cuma satu tingkat di atasnya, terutama ke feronikel. Padahal, dari segi penyerapan tenaga kerjanya itu sangat sedikit. Hilirisasi itu hanya sekitar 5 persen dari seluruh pekerja,” imbuhnya.