News - "Alam semesta, kita semua yakini, tak akan pernah berakhir," tulis William McKibben, jurnalis asal Amerika Serikat peraih Gandhi Peace Award, dalam "The End of Nature" (The New Yorker, 11 September 1989).
Namun, tambah McKibben, "dunia yang kita kenal ini sesungguhnya hanya dapat ditarik mundur ke zaman Renaisans, dan dunia yang benar-benar kita rasakan saat ini mulai mengemuka saat Revolusi Industri terjadi, dan dunia yang benar-benar dapat kita nikmati ini, percaya atau tidak, baru terjadi selepas 1945."
Ya, seandainya manusia tak pernah menginjakkan kaki di Bumi, alam semesta mungkin benar berjalan lamban dan seolah tak akan pernah berakhir. Namun, manusia hidup di sini dan ketika kecerdasannya menginisiasi revolusi di bidang perindustrian, Bumi yang dianggap berjalan lambat itu kemudian bergerak cepat. Sangat cepat, hingga tegas McKibben, "Bumi kini tengah berada di ambang batas hidupnya. Di jurang kehancuran."
Kehancuran Bumi yang digaungkan McKibben disebabkan oleh pemanasan global atas akumulasi karbon dioksida di atmosfer. Hubungan sebab-akibat ini sebetulnya biasa saja, bahkan menjadi alasan utama mengapa manusia dan mahkluk hidup lainnya dapat hidup dengan nyaman di Bumi. Tanpa karbon dioksida di atmosfer, suhu Bumi akan serupa dengan Mars: sangat dingin.
Karbon dioksida yang terperangkap atmosfer menciptakan efek rumah kaca yang memberi kehangatan pas bagi kehidupan di Bumi. Namun efek yang baik dari karbon dioksida ini hanya terjadi jika kuantitas karbon dioksida tak lebih dari 0,05 persen dari total elemen natural yang ada di atmosfer. Meningkat 0,005 atau 0,6 saja, efek sebaliknya timbul yakni kehancuran.
Dan peningkatan itu memang terjadi. Menukil paparan tentang konduktivitas listrik sebagai penyebab reaksi kimia karya Svente Arrhenius (1884), "di dekade pertama Revolusi Industri saja, saat minyak atau reservoir organik yang terperangkap di dalam perut Bumi disedot untuk dibakar dalam rangka menggerakkan mesin-mesin pabrik, terakumulasi karbon dioksida dalam jumlah sangat besar--yang tak pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Bumi--di angkasa."
Awalnya, peningkatan karbon dioksida tak dianggap masalah. Kala itu, pepohonan dan lautan diyakini dapat menyerap dengan baik kelebihan karbon dioksida yang dihasilkan manusia. Namun, dalam penelitian yang dilakukan Roger Revelle dan Hans Suess dari Scripps Institution of Oceanography pada 1957, bagian paling atas lautan atau muka air hanya dapat menyerap kurang dari setengah jumlah karbon dioksida yang dihasilkan manusia.
Sementara pepohonan, diawali pula oleh Revolusi Industri, terjadi deforestasi besar-besaran yang membuat kerja menyaring polusi udara secara alamiah tak dapat dilakukan maksimal. Artinya, karbon dioksida hanya dapat melayang-layang di atmosfer.
Dan karbon dioksida ini, tegas Charles Keeling, peneliti lainnya di Scripps Institution of Oceanography, terus-menerus mengepul, meningkat sekitar tujuh-persepuluh bagian per-sejuta (ppm) saban tahunnya di atmosfer.
Atau "suatu jumlah yang menjadi pembeda lebih dari lima derajat celcius antara suhu Bumi pra dan pasca Revolusi Industri." Temuan ini baru dapat dikalkulasi dan dibuktikan secara ilmiah melalui komputer pada 1966 oleh Syukuro Manabe.
Terkini Lainnya
Artikel Terkait
Perbedaan Karbon Dioksida dan Karbon Monoksida
Apa Itu Carbon Neutral & Mengapa Netralitas Karbon Penting?
5 Cara Mengurangi Emisi Karbon & Langkah-Langkah Mengatasinya
Apa Saja Zat dan Gas Penyebab Efek Rumah Kaca di Dunia?
Populer
Respons Polri soal 6 Perwira Terlibat Kasus Sambo Naik Pangkat
Airlangga Usul BRI & BSI Jadi Bullion Bank, Begini Tanggapan OJK
Hujan Pungutan di 2025: Kredit Terancam, Rakyat Makan Tabungan
PKB & PDIP Kuasai Jawa Timur, tapi Kenapa Justru Kalah Pilkada?
Grab Siap Beri Data Mitra Pengemudinya untuk Didata Pemerintah
Panglima TNI Angkat Letjen M. Fadjar Jadi Pangkostrad
Usaha Panjang Untuk Menjaga Sang Ibu Lautan
Polisi Tembak Siswa SMK di Semarang Resmi Jadi Tersangka
Flash News
Panji Gumilang Diserahkan ke JPU dalam Kasus TPPU
Budi Said Jalani Sidang Tuntutan Kasus Jual Beli Emas Hari Ini
KAI Uji Coba Gerbong Khusus Wanita di LRT Jabodebek 16 Desember
Hari HAM, Puan Ingatkan Negara Penuhi Hak Masyarakat Marjinal
Rekonstruksi Kasus Pembunuhan Ayah & Nenek Dijadwalkan Pekan Ini
Polisi Periksa 8 Saksi terkait Kasus Dugaan Pemerkosaan Balita
9 Terdakwa Korupsi Timah Dituntut 6 hingga 14 Tahun Penjara
Dedi-Erwan Raih Suara Terbanyak di Pilkada Jawa Barat 2024
Polisi Tembak Siswa SMK di Semarang Resmi Jadi Tersangka
Polisi Penembak Siswa SMK Ajukan Banding atas Pemecatannya
Harvey Moeis Dituntut 12 Tahun Penjara & Denda Rp1 Miliar
Sidang Etik Polisi Tembak Siswa SMK: Dipecat Tidak Hormat
Mahkamah Agung: 11 Satuan Kerja Belum Penuhi Syarat Antisuap
Sudirman Said: Munas PMI Tandingan versi Agung Laksono Ilegal
Dishub Bali Memprediksi 2,7 Juta Turis Masuk Bali saat Nataru