News - Presiden Joko Widodo mengawali kepemimpinannya dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,79 persen pada 2015, melambat jika dibanding tahun sebelumnya sebesar 5,02 persen.

Jika diukur berdasarkan Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga berlaku, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai Rp11.540,8 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp45,2 juta atau 3.377,1 dolar AS.

Lima tahun berlalu, Jokowi menutup periode pertama pemerintahannya dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen, turun dari capaian tahun 2018 yang masih berada di level 5,17 persen.

Berdasarkan PDB atas dasar harga berlaku, pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai Rp15.833,9 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp59,1 Juta atau 4.174,9 dolar AS.

Selanjutnya pada 2020, ekonomi Indonesia mengalami kontraksi di angka -2,07 persen. Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Misbah Hasan mengatakan wajar jika pada tahun itu ekonomi Indonesia anjlok, karena pada 2020 Indonesia menjadi salah satu negara yang terdampak pandemi Covid-19.

“Saat pandemi itu kan sempat ada kontraksi yang cukup dalam ya di tahun 2020. Itu sampai minus 2,07 persen. Di 2021 naik jadi 3,7 persen dan kembali lagi ke tren 5 persen [pada 2022],” kata Misbah saat dihubungi Tirto, Kamis (8/8/2024).

Pada 2023, ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,05 persen, dengan PDB atas dasar harga berlaku mencapai Rp20.892,4 triliun dan PDB per kapita mencapai Rp75 juta atau 4.919,7 dolar AS. Selanjutnya, pada triwulan I-2024, mengalami kenaikan hingga 5,11 persen dan kembali anjlok di 5,05 persen pada triwulan II-2024.

“Jadi, secara umum rata-rata pertumbuhan ekonomi di masa Jokowi itu di angka 5 persen,” imbuh Misbah.

Jika dikaitkan dengan janji politik Jokowi saat masa kampanye untuk periode pertama dan kedua kepemimpinannya yang sebesar 7 persen, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini jelas jauh dari harapan.

Realisasi pertumbuhan ekonomi yang rata-rata hanya sebesar 5 persen bahkan bisa dikatakan sebagai kegagalan mantan pengusaha kayu tersebut dalam pemerintahannya.

“Jadi artinya target yang ditetapkan oleh Jokowi dari kacamata RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) dua periode saya rasa gagal. Tidak tercapai. Meskipun ada kesempatannya, pertumbuhan ekonominya stagnan di angka 5 persen,” ujarnya.

Lebih lanjut Misbah menjelaskan, yang lebih penting dari pertumbuhan adalah pertumbuhan ekonomi tersebut benar-benar berdampak pada kualitas pembangunan, kemiskinan, dan tingkat ketimpangan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk miskin pada Maret 2024 sebesar 9,03 persen atau sebesar 25,22 juta orang, turun 0,33 persen atau 0,68 juta orang dari tahun sebelumnya. Sementara pada Maret 2023, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 25,90 juta orang, jauh lebih rendah dari Maret 2020 sebesar 26,42 juta orang.